-Muhammad Ghiffari Ryoza-
Legenda Tapaktuan merupakan salah satu cerita legenda masyarakat Tapak Tuan di Aceh Selatan. Cerita ini mengisahkan asal usul sejumlah nama di kecamatan dalam Kabupaten Aceh Selatan dan asal usul nama Tapaktuan yang dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan yang hingga sekarang masih dapat kita saksikan seperti kuburan dan Jejak kaki Tuan Tapa, batu merah dan batu itam.
Di
dalam cerita itu dikisahkan perjalanan hidup Tuan Tapa, seorang
pertapa yang sangat taat kepada Allah. Karena ketaatannya, Tuan Tapa
dapat mengetahui hal-hal gaib yang tidak diketahui manusia biasa.
Kisah ini menceritakan tentang
perebutan sepasang Naga (Jantan dan Betina) dengan orang tua sang putri.
Legenda klasik ini terus merakyat di Tapaktuan. Secara turun temurun,
legenda itu terus berkembang. Bahkan remaja yang hidup di zaman modern
ini, di Tapaktuan juga mengetahui cerita ini.
Dalam beberapa waktu yang lalu, Pengurus pernah melakukan pemostingan tentang Kisah Ini, Sobat dapat melihat kembali disini (Legenda Muasal Kota Naga Tapaktuan),
Namun, karena isi artikel tsb kurang otentik dengan sebagaimana
legenda yang telah di kisahkan. Saya berniat melakukan pengeposan ulang
dengan sedikit melengkapi dari berbagai referensi dari buku dan
artikel yang saya dapatkan dalam pertualangan saya di internet mengenai
legenda ini. Komentar-komentar sobat ACW di facebook saya tayangkan
kembali di bawah dalam Artikel "Legenda Muasal Kota Tapaktuan" agar
sobat dapat mengkritisi Artikel ini bila ada kesalahan penulis dalam
menulis artikel ini.
Sebenarnya, Legenda ini memiliki
alur cerita yang sama. Namun, hanya saja cara penyampaiannya yang
berbeda-beda. Yang pasti dalam semua cerita yang disampaikan tokoh adat
atau masyarakat biasa tentang legenda ini tak terlepas tiga hal, yaitu
ada Dua ekor Naga, Tuan Tapa. Putri Bungsu. Dan Lalu, adanya
pertempuran itu. Semoga pesan moral dari legenda ini, bermanfaat bagi
sobat pembaca.
******
Alkisah, seperti hari-hari
sebelumnya, kedua naga itu kembali berenang ke laut mencari makan,
sekarang mereka pergi ke barat. Mereka meluncur menyusuri kawasan
pinggir pantai menuju ke daerah barat. Mereka membelah ombak lautan yang
bergulung-gulung.
Setelah kedua naga berenang beberapa saat, mereka melihat sekelompok udang besar yang sedang berenang menuju ke muara sungai.
Kedua naga itu berenang semakin cepat.
Setelah dekat dengan kelompok udang, dihirupnya air laut kuat-kuat
sehingga seluruh udang masuk ke dalam perut mereka. Hingga sekarang,
tempat itu disebut Desa Air Berudang dan termasuk salah satu desa di
Kecamatan tapaktuan.
Suatu ketika sepasang naga
sedang berjalan-jalan menyusuri lautan yang bergelombang. Si Naga jantan
tiba-tiba berhenti, tertegun memperhatikan sebuah titik hitam di
tengah laut. Titik hitam itu menarik perhatiannya. Lamat-lamat titik
hitam itu mendekat ke arah sang naga. Gelombang laut yang membawanya
mendekat. Si Naga Jantan dan Betina terus memperhatikan titik hitam
itu.
Dari tengah lautan, mereka
mendengar suara tangis bayi. Suara tangis itu semakin lama semakin keras
dan jelas. Sepasang Naga itu pun berenang mendekati titik hitam
tersebut di tengah lautan.
Sang Naga terjun alang kepalang.
Titik hitam itu adalah benar sesosok bayi manusia yang menangis keras,
diombang-ambingkan gelombang di dalam sebuah ayunan yang terbuat dari
anyaman rotan. Anehnya, ayunan rotan itu tidak kemasukan air.
Pasangan Naga ini sangat senang
mendapatkan putri berbentuk manusia. Konon naga itu memang sudah lama
mengidam-idamkan seorang putri. Kedua Naga itu sangat menyanyangi putri
pungut mereka. Bahkan, Naga betina selalu memeluk putri kecil dalam
cengkeramnya agar tidak hilang.
Demikianlah, waktu terus
berganti. Dari hari ke hari, bayi itu terus tumbuh normal dan sehat
sebagaimana bayi manusia lainnya. Putri kecil tersebut diberi nama Putri
Bungsu. Mereka sangat mengasihi putri ini.
Bahkan Naga Jantan menciptakan
tempat bermain nan indah di gunung itu. Semua buah-buahan dan minuman
tersedia disana. Semua itu dilakukan agar Putri Bungsu betah tinggal
bersama mereka. Putri inilah yang kemudian disebut sebagai Putri Naga.
Pada suatu hari, kedua naga itu
membawa putri kesayangan mereka pergi berjalan-jalan menikmati
pemandangan daerah Teluk yang indah mempesona.
Sang Putri dinaikkan ke punggung Naga
Jantan yang telah siap mengarungi kawasan pantai Teluk. Naga Betina
berenang mengiringi dari belakang. Sang Naga betina itu sangat cemas
jika putri cantik rupawan itu terjatuh dari punggung naga dan
tenggelam.
Diam-diam sang Putri melontarkan rasa
kekagumannya. Ia senang melihat keindahan alam pantai Teluk yang masih
asri. Demikianlah keadaan sang Putri, ia terhibur selalu dengan sikap
kedua naga itu.
Waktu terus bergulir, Putri
Bungsu pun merangkak remaja. Dia menetap bersama naga disebuah gua yang
dalam. Suatu hari, sang Putri Bungsu secara tak sengaja mendengar
obrolan sepasang Naga. Dari luar gua dia terus menyimak percakapan itu.
Dia tersentak. Sadar, bahwa dirinya bukan keturunan naga. Dia memiliki
orang tua yang juga berasal dari bangsa manusia.
Niat untuk melarikan diripun
muncul dalam benaknya. Putri Bungsu tidak gegabah. Dia bersabar untuk
menemukan waktu yang tepat melarikan diri dari gunung itu. Dia takut
akan kesaktian kedua naga tersebut.
Waktu yang dinantikanpun tiba.
Dari atas gunung, Putri Bungsu melihat sebuah kapal berlayar dibawah
kaki gunung itu. Gunung ini memang tepat berada di depan laut. Naga
Jantan kala itu sedang tertidur dipinggir laut. Perlahan dia mengangkat
kaki, sedikit menjinjing agar langkahnya tidak didengar Naga Jantan.
Perahu layar semakin dekat. Dia
bimbang. Teringat akan kesaktian naga tersebut. Jarak Naga Jantan
beristirahat dengan laut sangat dekat. Khawatir ketahuan, diapun
mengurungkan niat untuk kabur dari gunung itu.
Siang-malam Putri nan cantik
jelita itu mencari akal. Ide cemerlang pun muncul dikepalanya. Satu dia
mengajak pasangan Naga berjalan-jalan menyusuri pantai di pulau itu.
Naga kelelahan dan tertidur pulas. Putri Bungsu tak menyianyiakan
kesempatan emas itu. Kakinya diseret ke atas sebuah bukit kecil yang
dekat dengan laut. Agar dia bisa melihat perahu yang melintas.
Jarang sekali perahu yang mahu
mendekat ke pulau itu. Namun hari itu keberuntungan Putri Naga. Sebuah
perahu kecil merapat. Dia melambaikan tangan. Awak perahu ada yang
menyapanya.
Perahu itulah yang membawa putri
bungsu pergi, Putri bungsu naik ke atas kapal dan ikut bersama awak
kapal itu. Naga yang baru terbangun dari tidur, terkejut setengah mati.
Putri kesanyangannya telah pergi. Dalam benaknya, Naga berujar, pasti perahu itu yang melarikan putriku. Dia mengejar perahu yang berjalan sangat pelan itu.
Sepasang Naga itu mengejar
perahu tersebut. Sementara itu, di Gua Kalam, tidak jauh dari bukit itu,
seorang manusia sedang bertapa. Dia tersentak dari pertapaanya. Seakan
dia sadar akan ada bencana besar dibumi. Inilah Tuan Tapa.
Dia keluar dari gua tersebut.
Lalu menatap ke laut lepas. Terlihat sepasang Naga dengan kemarahan
puncak sedang mengejar sebuah perahu nelayan. Tuan Tapa terkenal dengan
tongkat saktinya.
Hal itu menyebabkan terjadinya
pertarungan sengit antara kedua naga dengan Tuan Tapa. Mereka bertarung
untuk memperebutkan bayi yang kini telah menjadi seorang putri yang
cantik yang diberi nama Putri Bungsu.
Naga
Betina pun mulai menyerang Tuan Tapa, Namun serangan itu dapat
dipatahkan oleh Tuan Tapa, meskipun tongkat dan topi Tuan Tapa sempat
tercampak ke laut, dan hingga sekarang tongkat dan topi itu masih ada
dan telah menjadi batu yang terdapat di kawasan pantai Tapaktuan.
Sementara Naga Betina yang hendak melarikan Putri Bungsu gagal. Malah
hewan itu mengamuk sambil melarikan diri ke negeri Cina.
Dalam pelariannya itulah Naga
Betina membelah sebuah pulau di kawasan Bakongan hinga menjadi dua
bagian, dan hingga sekarang pulau itu bernama Pulau Dua. Bahkan
hewan itu mengamuk sambil memporak porandakan sebuah pulau. Pulau itu
terpecah-pecah hingga 99 buah. Itulah hingga kini disebut Pulau banyak
yang terdapat di Kabupaten Aceh Singkil.
Akhirnya Tuan Tapa berhasil
mengalahkan kedua naga tersebut. Sang Putri pun dapat kembali bersama
orang tuanya, tetapi keluarga itu tidak kembali ke Kerajaan Asralanoka.
Mereka memilih menetap di Aceh. Keberadaan mereka di Tanah Aceh
diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Tapaktuan.
Setelah kejadian itu, Tuan Tapa sakit.
Seminggu kemudian Tuan Tapa meninggal dunia pada Bulan Ramadhan Tahun 4
Hijriyah . Jasadnya dikuburkan di dekat Gunung Lampu, tepatnya di
depan Mesjid Tuo Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan, dan hingga
sekarang makam manusia keramat itu masih bisa kita saksikan hingga saat
ini.
Hingga sekarang bekas tubuh naga
yang berupa gumpalan darah itu masih dapat kita lihat di pantai berupa
tanah dan batu yang memerah. Kini disebut dengan Tanah Merah. Batu
Merah, sekitar tiga kilometer dari kota Tapaktuan. Kini gumpalan darah
dan hati tersebut telah mengeras menjadi batu.
Sedangkan hati sang Naga, yang
pecah dan terlempar menjadi beberapa bagian akibat pukulan tongkat sakti
Tuan Tapa, peninggalannya hingga sekarang masih terlihat berupa
batu-batu berwarna hitam berbentuk hati. Daerah ini kemudian diberi nama
Desa Batu Hitam, masih dikecamatan yang sama.
Pada
waktu Tuan Tapa hendak membunuh sang naga, terjadi kejar-kejaran
antara Tuanku Tapa dan sang naga. Maka pada suatu ketika, berbekaslah
tapak kaki Tuan Tapa ini. Sekarang yang masih terlihat hanya sepasang
telapak kaki sangat berjauhan, di batasi oleh gunung tempat naga
tinggal sebelumnya. Jejak tapak kaki tersebut, seperti jejak seseorang
yang melangkahi gunung, karena tak dapat ditemukan jejak yang sama di
antara kedua jejak tersebut.
Ukuran jejak kaki tersebut adalah 3 x 1,5 meter. Jejak kaki yang sebelah kanan, berada di pinggir laut diatas sebuah batu. Sedangkan jejak kaki sebelah kiri berada di dalam kota di atas tanah. Antara jejak satu dan yang satunya lagi lebih kurang berjarak 500 meter. Diberilah nama daerah yang terdapat jejak "Tapak Tuan Tapa" itu dengan nama kota "Tapak Tuan", atau juga sering disebut "Kota Naga Tapak Tuan".
Ukuran jejak kaki tersebut adalah 3 x 1,5 meter. Jejak kaki yang sebelah kanan, berada di pinggir laut diatas sebuah batu. Sedangkan jejak kaki sebelah kiri berada di dalam kota di atas tanah. Antara jejak satu dan yang satunya lagi lebih kurang berjarak 500 meter. Diberilah nama daerah yang terdapat jejak "Tapak Tuan Tapa" itu dengan nama kota "Tapak Tuan", atau juga sering disebut "Kota Naga Tapak Tuan".
Di tempat pertempuran Naga dan
Tuan Tapa, masih meninggalkan jejak berupa tongkat. Tongkat mirip baru
itu, dipercayai sebagai tongkat Tuan Tapa. Lalu, bagaimana nasib sang
Putri? Beberapa tokoh masyarakat di daerah itu menceritakan, dalam
legenda tersebut dikisahkan sang Putri akhirnya kembali hidup normal
layaknya manusia dan hidup bahagia bersama kedua orangtuanya. Putri
Bungsu kemudian mendapat julukan sebagai ‘Putri Naga’.
Karena kisah ini pula, orang
menyebutkan Aceh Selatan sebagai Kota Naga. Bahkan, jika memasuki kota
Tapaktuan pemerintah Daerah Aceh Selatan mengukir gambar naga tepat di
dinding pinggir jalan. Sekitar seratus meter dari arah timur kantor
Bupati Aceh Selatan.
Demikianlah kisah Cerita Legenda
Tapaktuan ini saya sampaikan apa adanya, dan mari kita ingat bahwa
segala sesuatu yang sifatnya legenda adalah dongeng belaka tapi bila
kita baca semua alur cerita legenda ini dalam Buku Legenda Tapaktuan
yang ditulis oleh Darul Qutni Ch ini banyak mengandung pendidikan dan
budi pekerti yang tidak menyimpang dari aqidah agama Islam yang mulia
dan tercinta itu, serta tidak akan membuat pembaca menjadi syirik dan
sesat.
Jika kita pergi ke Tapak Tuan Aceh
Selatan, tapi belum mengunjungi area tapak kaki tersebut, maka
seolah-olah kita belum sampai ke Tapak Tuan. Dan di dukung dengan
panorama alam yang sangat luar biasa, Tahukan anda, bahwa Tapak Tuan
merupakan salah satu Kota terindah di Sumatera. Jadi, bagi yang
penasaran, Silakan langkahkan kaki anda ke sana ...!!
* Pemandangan Panorama Alam Si Kota Naga Tapak Tuan *
Surfing Tapak Tuan
Garis pantai Tapaktuan
The Beach of TapakTuan
Tapaktuan, Most beautiful Place of Sumatera
Best Ever place in Tapak Tuan
Kampung Batu Hitam
Tapak Tuan with Sunset
The Dragon City
TapakTuan of the Village
Tidak ada komentar:
Posting Komentar