-Muhammad Ghiffari Ryoza-
“Bencana” Bulutangkis Indonesia
Tahun 2012 seolah menjadi tahun kelam untuk
perbulutangkisan Indonesia. Tahun ini sebenarnya tahun yang sangat ideal
untuk menunjukkan siapa negara yang paling kuat diolahraga tepok bulu
dunia. Bagaimana tidak, dua turnament akbar tahun ini digelar. Pertama,
gelaran Thomas dan Uber Cup 2012 (setara World Cup di sepakbola) dan
Olimpiade London 2012.
“Bencana” bulutangkis Indonesia mulai terjadi Mei 2012. Saat Indonesia
berlaga dalam gelaran Piala Thomas di Wuhan China. Datang ke Wuhan
dengan status Unggulan kelima, membuat posisi Tim Thomas Indonesia saat
itu diragukan untuk tampil prima, apalagi Indonesia harus satu group
dengan Juara Bertahan saat itu, China. Tim Thomas Indonesia keluar
sebagai Runner Up group dan bersua tim Jepang di babak perempat final.
“Bencana” pertama itu datang saat harus bersua dengan Jepang. Bagaimana
tidak, Indonesia saat itu yang tampil dengan komposisi Simon Santoso,
Taufik Hidayat, Hayom Rumbaka, Markis Kido/Hendra Setiawan, dan
M.Ahsan/Alvent Yulianto gagal membendung laju “anak bawang” Jepang
dengan skor 2-3. Kekalahan tim Thomas saat itu, seolah menampar dunia
bulutangkis kita. Bagaimana tidak, sejak Indonesia ambil bagian dalam
gelaran Thomas Cup tahun 1958, praktis Indonesia tak pernah kandas
dibabak perempat final, dan yang lebih menyakitkan kita dikalahkan tim
“anak bawang” Jepang.
Kekalahan Hayom Rumbaka dari Tunggal
Putra Takeuma Uda dari Jepang di partai terakhir perempat final Thomas
Cup, Indonesia kalah 2-3 dari Jepang.
Efek tersebut merembet dan sampai ditelinga mantan - mantan pemain
bulutangkis kita. Bahkan saat itu mereka membuat petisi agar PBSI segera
berbenah, bahkan ada yang menginginkan ketua umum saat itu mengundurkan
diri. Namun, seperti kebanyakan para pemimpin di negeri ini, sang ketua
umum mempunyai banyak alasan mengenai kegagalan itu, dan berjanji akan
segera mengevaluasi secara menyeluruh. Sang ketua umum saat itu berjanji
hal ini tidak sampai “menular” ke ajang Olimpiade 2 bulan dari saat
itu.
Kegagalan di Thomas dan Uber Cup 2012, sedikit diobati saat beberapa
pemain Indonesia tampil prima di ajang Thailand Grand Prix Gold,
Indonesian Premier Super Series, dan Singapure Open Super Series. 3
gelar dari 3 turnament pemanasan sebelum Olimpiade tersebut, membuat tim
Indonesia semakin optimistis dapat menjaga tradisi emas olimpiade
selama 20 tahun terakhir.
Namun, ternyata euforia tersebut berlangsung singkat, awal bulan ini,
“bencana” bulutangkis Indonesia terjadi, bahkan lebih parah dan efeknya
luar biasa. Dalam perhelatan Olimpiade London 2012, 9 pemain bulutangkis
Indonesia datang ke London membawa misi mempertahankan tradisi emas
sejak 20 tahun lamanya. Segala macam cara dan program dijalankan PBSI
untuk mempertahankan tradisi emas tersebut selama kurang lebih satu
bulan terakhir.
9 atlit Indonesia mengawali laga dengan menyakinkan, namun ternyata batu
besar menghadang dibabak 16 besar. Tiga pemain tunggal kita dengan
“sukses” kalah dari lawan - lawannya. Simon Santoso kalah “menyakinkan”
dari Lee Chong Wei. Taufik Hidayat juga kalah “menyakinkan” dari Super
Dan asal China. Hal serupa juga terjadi dengan Adriyanti Firdasari yang
juga kalah “menyakinkan” dari Wang Xin. Kekalahan tersebut seolah
membuat tradisi emas bulutangkis Indonesia menipis.
Bencana tersebut tidak berhenti saat itu, nama besar bulutangkis kita
juga tercoreng atas aksi tidak supportifnya ganda putri terbaik kita
Greysia Polli/Meiliana Jauhari saat melawan pasangan Korea Kim Min
Jung/Ha Jung Eun. Tindakan itu merupakan efek domino dari tindakan tidak
supportif pasangan China unggulan pertama Wang Xiaoli/Yu Yang dari
pasangan Korea lainnya Jung Kyun Eun/Kim Ha Na. Alhasil 4 pasang ganda
putri tersebut didiskualifikasi dari Olimpiade London 2012. Nama
Indonesiapun tercemar dan muncullah pro kontra seputar aksi para pemain -
pemain tersebut.
Kontroversi partai Greysia Polli/Meiliana Jauhari melawan Ha Jung Eun/Kim Min Jung
Harapan emaspun akhirnya bertumpu pada pasangan Ganda Putra M.Ahsan/Bona
Septano serta Ganda Campuran Liliana Natsir/Tantowi Ahmad. Lagi - lagi,
pasangan ganda putra Indonesia kalah secara “meyakinkan” dari ganda
kuat korea Chung Jae Sung/Lee Yong Dae. Saat itu, 2 tradisi tim
Bulutangkis Indonesia diajang Olimpiade terputus, yaitu pertama, Tim
Indonesia minimal membawa pulang 3 medali dari Olimpiade, dan kedua,
minimal nomer ganda putra pulang dengan raihan medali. Lagi - lagi,
bencana tidak berhenti disitu, kekalahan tragis ganda campuran Tantowi
Ahmad/Liliana Natsir dari pasangan Chen Xu/Ma Jin membuat 3 tradisi
bulutangkis di Indonesia terputus saat itu yakni tradisi emas olimpiade
sejak 1992 dan awan hitam menyelimuti perbulutangkisan Indonesia.
Pasangan Tantowi Ahmad/Liliana Natsir
yang kalah lawan Chen Xu/Ma Jin di semifinal dan kalah lawan Joachim
Fischer/Cristina Pedersen diperebutan medali Perunggu.
Namun, bencana tersebut terus terjadi, dan sangat disesalkan, akhir dari
gelaran Olimpiade London ini, tim Bulutangkis Indonesia pulang ketanah
air dengan koleksi 0 medali dan citra buruk atas tindakan unsupportif
pasangan ganda putri. “Bencana” tersebut menjadi “bencana” yang paling
mengerikan dalam sejarah olahraga bulutangkis Indonesia. Sudah tidak ada
lagi air mata bahagia, bendera merah putih berkibar dipuncak tertinggi,
dan lagu Indonesia Raya berkumandang keseluruh pelosok dunia dari ajang
Olimpiade London 2012. Bulutangkis yang menjadi olahraga kebanggan kita
seolah tak berdaya dan gagal memenuhi ekspektasi bangsa ini. Tak perlu
disesali, toh nasi sudah menjadi bubur.Siapa yang perlu disalahkan, tentu semua harus bersatu untuk bangkit dan
kembali menata bulutangkis Indonesia, olahraga kebanggaan bangsa ini
yang 20 tahun lalu membawa nama Indonesia disegani dipentas olimpiade
dunia tahun ini tidak berdaya. Dengan hal seperti itu, sungguh
disayangkan Menpora memberikan komentar “Jangan hanya mengandalkan
Bulutangkis lagi, di multievent”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar