“Maafkan
aku,ibu..aku mencintaimu!”
Aku membanting pintu kamar dengan keras. Tak
peduli dengan suara ibu yang masih memanggil-manggil dari bawah. Aku benci ibu
hari ini. Aku hanya minta dibelikan sebuah handphone karena telepon seluler ku
sudah tidak bisa dipakai untuk browsing lagi. Tapi ibu, ayah dan semua
keluargaku malah menceramahiku panjang lebar. Inilah, itulah, semua yang
ujung-ujungnya mereka tak mau membelikannya untukku. Dengan harta mereka yang
berlimpah ruah itu, apa salahnya mereka membelikanku satu telepon selluler? Ahh…
………
Jam
menunjukkan pukul 06.00 ketika aku bangun pagi ini. Perutku terasa
lapar,seharian aku tidak makan kemarin. Aku bangun dari tempat tidur dan
bergegas mandi karena aku harus berangkat sekolah. Setelah semuanya siap, aku
keluar dari kamar dan turun kebawah. Kulihat ibu sedang menata meja makan
sambil tersenyum padaku. “selamat pagi sayang,,kamu sudah bangun,,ayo
sini,,kita sarapan bersama.” Aku hendak berjalan menghampiri meja makan ketika
tiba-tiba aku teringat kembali akan kejadian kemarin sore, ketika semua orang
menceramahiku gara-gara hp yang aku minta. Selera makanku tiba-tiba hilang. Aku
berbalik dan langsung berangkat sekolah tanpa sarapan. Bahkan aku tidak mau
berpamitan pada ibu. Sayup-sayup kudengar suara ibu yang berpesan agar aku
pulang sebelum makan siang. Aku memang pulang agak cepat hari ini karena ada
rapat guru.
Disekolah
aku menjalani hari-hari seperti biasa bersama teman-teman. Semuanya berjalan
seperti biasanya sampai bel pulang pun berbunyi. Aku merogoh kantong seragamku karena
tiba-tiba hp ku bergetar. Kulihat ada panggilan masuk dari ayah. Aku tidak mau
mengangkatnya. Aku membiarkannya sampai getarnya berhenti sendiri. Kulihat ada
24 panggilan tak terjawab dari ayah,dan satu pesan dengan isi : tolong pulang secepatnya!. Aku heran kenapa tiba-tiba ayah mengirimiku pesan
seperti itu. Biasanya ayah tak pernah melakukannya. Apa mungkin……
Lamunanku
buyar ketika tiba-tiba seorang temanku mengajak untuk bermain dulu sebelum
pulang. Akupun ikut bersama mereka. Aku tak peduli dengan ibu dan ayah yang
sudah menungguku dirumah. Kekesalanku tidak bisa dilupakan begitu saja. Toh
menghabiskan waktu bersama teman-teman jauh lebih menyenangkan, pikirku..
------
Aku
berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumahku. Kulirik jam tanganku, sudah
pukul 14.30. Semakin aku dekat, suasana hatiku semakin kacau. Bagaimana kalau
ayah dan ibu marah? Apa yang harus kukatakan pada mereka? Tapi, bukankan ini salah
mereka. Aku tidak akan marah dan pulang telat kalau mereka memenuhi
permintaanku kemarin. Aku melangkah dengan ditemani lamunan-lamunan tentang apa
yang kira-kira akan terjadi begitu aku tiba dirumah. Aku tidak akan tinggal
diam. Kali ini aku akan menjawab jika mereka memarahiku. Tetapi, aku merasakan
sesuatu yang aneh. Dari kejauhan, kulihat banyak orang yang berkumpul di depan rumahku.
Ada beberapa yang lalu lalang. Ada yang hanya diam dengan ekspresi yang sama
sekali tidak aku mengerti. Langkahku terhenti begitu aku berada tepat didepan
pintu rumahku. Ternyata orang-orang disini jauh lebih banyak daripada
orang-orang yang kulihat tadi. Mereka melihatku dengan tatapan yang aku tidak
mengerti. Sebagian dari mereka ada yang menangis, ada yang tampak menyesal, ada
yang sedih, tapi tidak ada diantara mereka yang menunjukkan ekspresi bahagia. Aku
baru mengerti ketika seorang tetanggaku menepuk pundakku dan berkata : “yang
sabar ya nak..”
Aku
berlari kedalam rumahku. Kulihat seorang wanita paruh baya yang sedang
berbaring dengan mata tertutup dan dikelilingi oleh orang-orang yang sedang
membacakan ayat-ayat al-Qur’an sambil menangis sesenggukan. Wanita itu
tersenyum. Raut mukanya menggambarkan ketenangan. Wanita itu tak lain adalah
ibuku. Seluruh tubuhku lemas, air mata keluar dengan sendirinya. Aku berhambur
memeluk ibuku yang terbaring kaku. Aku menciuminya berkali-kali. Aku menangis
sejadi-jadinya. Aku menjerit-jerit seperti orang gila. Ayah dan keluargaku yang
lain berusaha untuk menenangkanku. Aku mencaci maki mereka. Aku meyalahkan
mereka kenapa aku tidak diberitahu sejak awal. Ayah menjawab dengan lemas “ayah
sudah menghubungimu beberapa kali,tapi kamu tidak menjawab telepon. Kami tidak
memakamkannya dulu karena menunggumu. Ibumu sudah meniggal 3 jam yang lalu”.
Tangisanku kembali meledak. Orang-orang melihatku dengan tatapan penuh kasihan.
Aku terus menangis sampai aku tak
sadarkan diri.
----
Aku membuka mata perlahan-lahan. Kepalaku
rasanya sangat berat. Sejenak kemudian aku tersadar aku sedang berada di kamar
tidurku sendiri. Aku mencoba mengingat-ngingat apa yang terjadi, lalu aku
menangis lagi. Aku merasa sangat bersalah. Aku tak sempat menyapanya hari ini. Aku
juga tak sempat bersarapan bersamanya, bahka aku tidak mau pulang dan makan
siang bersamanya. Aku tidak bisa memenuhi keinginan terakhirnya.
Lamunanku
buyar ketika tiba-tiba pintu kamarku dibuka oleh ayah. Ayah masuk dan
menyerahkan sesuatu sambil tersenyum. “selamat ulang tahun sayang.. ini hadiah
dari ibumu. Dia ingin memberikannya saat makan siang, bahkan dia sudah memasak
masakan kesukaanmu, tapi Tuhan berkata lain.. juga maafkan ayah dan ibumu karena
sudah membuat mu marah kemarin’. Ayah keluar dan meninggalkan sebuah kotak
hadiah pemberian ibu. Aku membuka kotak itu dengan tangan gemetar dan air mata yang berlinang. Dan betapa
terkejutnya aku, isi kotak itu adalah sebuah handphone dengan merk keluaran
terbaru, yang bahkan di negeri ini saja hanya ada beberapa buah. Oh ibu,
maafkan anakmu yang tak berguna ini. Aku sungguh menyesal. Ingin rasanya waktu
kuputar kembali. Tapi itu tak mungkin. Kini ibu sudah tenang disana. Selamat jalan
ibu……
Oleh
: Meutuwah Ridhana (XI IPA 3)
Sedih Baca Ceritanya T.T
BalasHapus