Mendoakanmu
adalah caraku memelukmu dari jauh..
Dari
Bumi..
.
.
.
Aku pemuja cinta.
Cinta itu membuaiku.
Dicecoki oleh segala keindahan, manisnya bujuk rayu,
dan kemudian dengan lembut mereka menghembuskan angin-angin surganya.
Membuatku terlena hingga aku menjadi seorang pemabuk.
Pecandu cinta.
Aku bahkan terlalu tegar, ketika kenyataan berbanding
terbalik dengan mimpi-mimpi seorang anak manusia.
Semua rencana, semua cerita yang mencoba disusun
indah, hilang.
Terbang.
Percuma.
Cinta menjatuhkanku dari langit dan menghujam Bumi
dengan hebat.
Berdentum keras dan menyadarkan dari buaian mimpi
panjangku.
Ini nyata.
Bukan negeri dongeng.
Terlalu bodoh jika aku menjadikan cinta itu adalah
sebuah trauma.
Kalau kita menemukan cinta yang tepat, cinta itu
adalah sebuah hamparan padang rumput hijau, dengan langit biru, dengan
bunga-bunga yang memperindah setiap sudutnya.
Indah.
Bebas.
Kita bisa berteriak kencang.
Inilah cinta, tanpa batas, tanpa dusta.
Aku menemukannya di dirimu.
Sepagi ini, aku masih terjaga.
Mataku sama sekali tak mau terpejam.
Pikiranku berlari liar.
Menelusuri setiap imajinasi yang tak pernah tersentuh.
Dan kemudian berhenti pada satu titik.
Kamu.
Aku memandangi foto yang menjadi wallpaper ponselku.
Sosok yang tepat hari ini sudah tiga tahun ada
dalam setiap perjalanan hariku.
Menemani pagiku.
Menyemangati kelesuanku.
Sahabat bagi masalah study-ku.
Kakak bagi setiap tingkahku.
Dan jarak ratusan meter menjadi penghubung hatinya dan
hatiku.
Tak mudah melakoni peran ini.
Menjadi sabar, pengalah dan dewasa adalah bukan sifat
asliku.
Tapi kamu..
Kamu mengajariku semua yang tak pernah diajari oleh
siapa pun yang pernah singgah di hatiku.
Pernah suatu hari, seorang mantan muncul dan mulai
mengusik hidupku kembali.
Dengan segala cara, dia mencoba masuk ke dalam hatiku
yang telah tersekat.
Aku berharap, dia marah kepada mantanku dan memintanya
jangan pernah menggangguku lagi.
Tapi aku salah telah berpikir demikian.
Bukan itu yang dia lakukan.
Pelan, dia membisikkan kalimat panjang ke dalam ruang
dengarku.
“Tau nggak kenapa kita nggak boleh benci sama
mantan kita? Dulu kita pernah senyum-senyum sendiri setiap baca text dari dia.
Dia dulu pernah kita peluk dan bilang ‘I Love You’. Dia dulu kita panggil
sayang. Dia dulu suka bikin kita marah-marah nggak jelas gara-gara nggak ada
kabar, dan banyak hal lainnya yang dia lakukan. Kalau nggak ada dia, kita nggak
ada tambahan cerita kan? Ajak dia untuk tahu, apa indahnya berteman. Hati nggak
bisa dipaksakan”
Entah terbuat dari apa manusia itu.
Cara bicaranya lurus.
Tanpa ekspresi.
Hanya segores senyum tersayat tipis di bibirnya.
Sedikit.
Dalam.
Namun penuh arti.
Aku benci senyum itu.
Aku benci kalau ia tersenyum.
Aku luluh.
Bersatu dengan Bumi.
Tak tersisa.
Aku buka lemari bajuku, aku pandangi semua koleksi
kemeja hingga kaus yang ada di dalam lemariku.
Mataku memburu.
Setiap baris demi baris.
Masih memburu.
Jariku bermain pelan.
Menelusuri setiap lipatan-lipatan kaus yang terlipat
rapi.
Jariku berhenti pada sebuah baris.
Paling bawah.
Kemeja putih.
Satu-satunya kemeja yang dilipat.
Tidak digantung di bagian khusus hanger.
Aku memacu langkah kakiku.
Semakin cepat.
Berburu dengan waktu.
Menerobos keramaian pagi kota Purwokerto yang masih
lengang.
Nafasku memburu.
Jantungku berdentum kencang.
Meronta.
Seakan ingin keluar dari rongga dadaku dan berdetak
sesuai ayunan kakiku.
Aku menikmatinya, aku menikmati suasana seperti ini.
Berlari berpacu dengan waktu.
Lama aku tak melakukan hal ini.
Berlari dari rumah menuju arah Stasiun kereta api yang
memang tak jauh dari rumahku.
Mengingatkanku dengan dia yang hampir selalu
ketinggalan kereta menuju Yogyakarta.
Dan sekarang, hari ini, aku akan bertemu dengan dia.
Orang yang aku sayangi itu.
Yogyakarta.
Kekasihku.
Tujuanku.
Yogyakarta, selalu istimewa.
Tempat yang begitu menyenangkan.
Aku selalu suka tempat ini.
Bersahabat.
Nyaman.
Ramah.
Bersejarah.
Di sini, tiga tahun lalu kami pertama kali bertemu.
Setelah satu tahun hanya berkomunikasi melalui dunia
maya dan telepon.
Friendster
yang mempertemukan kita.
Saling mengetuk hati.
Memberikan signal
dan kemudian menangkap getaran lembut itu.
Tanpa sadar, hingga kami membiarkan sebuah benih itu
tumbuh.
Bertunas dan kemudian mekar menjadi cinta.
Yogyakarta sedang tak bersahabat pagi ini.
4 jam perjalanan dari Purwokerto membuat cuaca
berubah.
Mendung.
Berharap ini bukan pertanda buruk untuk kekasihku.
Tak lama setelah aku keluar dari Stasiun Lempuyangan,
sebuah sepeda motor mendekatiku.
Seorang gadis manis hanya tersenyum ketika memintaku
bergegas naik.
Dia.
Nama gadis itu Dia.
Dia adalah adik dari kekasihku.
Dia selalu tahu aku akan datang setiap tanggal sepuluh
Maret.
Berulang kali aku memaksa agar tak usah dijemput.
Tapi dia selalu memaksa.
Kata Dia, teman kakaknya adalah temannya juga.
Aku hanya teman di mata mereka.
Karena aku seorang lelaki.
Terlalu tabu untuk mengenalkan aku sebagai kekasihnya.
Sepeda motor Dia berhenti.
Sepi.
Tak banyak orang di tempat yang aku tuju sekarang.
Hanya beberapa segelintir orang berpayung hitam yang
keluar dengan wajah datar.
Tanpa ekspresi.
Begitu juga Dia.
Dia tampak diam.
Matanya mendadak sayu.
Aku merangkulnya.
Merangkulnya erat dan mengelus pelan bahunya.
Hufffff…
Aku menarik nafas panjang.
Aku memulai langkah kakiku yang kaku menuju gerbang.
Meski sepi, inilah rumah kekasihku.
Rumahnya yang terakhir.
Tempat pemakaman umum.
Rumput hijau tumbuh subur di atas gundukan tanah.
Di depanku, ini kekasihku.
Terbujur diam.
Kaku.
Tanpa suara.
Bersinergi dengan Bumi.
Satu tahun sudah dia pergi meninggalkanku sendiri.
Tanpa pamit.
Kecelakaan lalu lintas mengakhiri cinta tabu kami.
Sepeda motornya tertabrak bus antar kota ketika pulang
kerja sore itu.
Tuhan memanggil.
Ke rumah-Nya.
Sekuat tenaga aku berharap ini hanya mimpi.
Sekuat tenaga pula aku mencoba terbangun dari tidurku.
Tapi sekuat apa pun itu, ini nyata.
Bukan mimpi.
Bukan sebuah drama yang bisa di cut di tengah adegan dan bisa diperbaiki naskahnya.
Mencoba kuat adalah usahaku untuk membahagiakan dia,
kekasihku.
Mencoba ikhlas adalah usahaku agar dia tenang di sisi
Tuhan.
Dan mencoba menjadi biasa, adalah agar aku terbiasa
menjadikan kau kekasihku.
Dia memegang tanganku erat.
Senyumnya kaku.
Terpaksa.
Dia menenangkanku.
Kenyataan menyadarkanku.
Kalau kami memang tak akan pernah bisa bersatu.
Mungkin dengan mendoakanmu
adalah caraku memelukmu dari jauh..
Dari
Bumi..
END.
By: Shella
Source: Long Distance Hearts Book.
Author: Nugroho Yogo Pratomo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar